Selasa, 13 Maret 2012

Sejarah Islam di Indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
»»  READMORE...

Ka'bah

 Letak Mekah - Ibrahim dan Ismail - Kisah penyembelihan
   dan penebusan - Zamzam - Perkawinan Ismail dengan
   Jurhum - Pembangunan Ka'bah - Mekah di bawah Jurhum -
   Qushay dan anak-anaknya - Mekah di tangan Qushay -
   Hasyim dan Abdul Muttalib - Tugas-tugas duniawi dan
   agama di Mekah - Berhaji ke Mekah - Kisah Abraha dan
   gajah - Abdullah bin Abdul Muttalib - Kisah
   penebusannya.

DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah  yang  berhadapan  dengan  Laut
Merah  -  antara  Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer  dari  pantai.
Bukit-bukit  ini  mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu  kalau  tidak  dibuka  oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju  ke  Yaman,  yang  kedua  jalan  dekat  Laut  Merah  di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.

Dalam  lembah  yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota  ini  sungguh
sukar  sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah  itu  digunakan  sebagai  tempat
perhentian  kafilah  sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian  rornbongan  kafilah
itu  membentangkan  kemah-kemah  mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju  Yaman.  Mungkin  sekali  Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama  yang  menjadikannya  sebagai  tempat  tinggal,   yang
sebelum  itu  hanya  dijadikan  tempat  kafilah  lalu saja dan
tempat perdagangan secara  tukar-menukar  antara  yang  datang
dari  arah  selatan  jazirah  dengan  yang  bertolak dari arah
utara.

Kalau  Ismail  adalah  orang  pertama  yang  menjadikan  Mekah
sebagai  tempat  tinggal,  maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa  daerah  ini
dipakai  tempat  ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah  kedatangannya  ketempat  itupun  memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.

Ibrahim  dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual  kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah  oleh  masyarakat  dan  betapa pula mereka memberikan
rasa  hormat  dan  kudus  kepada  sekeping  kayu  yang  pernah
dikerjakan  ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana  hasil  kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?

Kemudian  Ibrahim  menceritakan  hal  itu  kepada  orang lain.
Ayahnyapun  sangat  memperhatikan  tingkah-laku  anaknya  itu;
karena  ia  kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya.  Ia
ingin    membuktikan    kebenaran   pendapatnya   itu   dengan
alasan-alasan yang dapat  diterima.  Ia  mengambil  kesempatan
ketika  orang  sedang  lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala  itu  dihancurkan,  kecuali  berhala  yang  paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

"Engkaukah  yang  melakukan  itu  terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)

Ibrahim melakukan itu sesudah ia  memikirkan  betapa  sesatnya
mereka  menyembah  berhala,  sebaliknya  siapa yang seharusnya
mereka sembah.

"Bila  malam  sudah  gelap,  dilihatnya  sebuah  bintang.   Ia
berkata:  Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun  berkata:  'Aku  tidak  menyukai  segala  yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun  berkata:  'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit,  iapun  berkata:  'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu  juga  kemudian  terbenam,  iapun
berkata:  'Oh  kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku  hanya  kepada  yang
telah  menciptakan  semesta  langit  dan  bumi  ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)

Ibrahim  tidak  berhasil  mengajak  masyarakatnya  itu.  Malah
sebagai  balasan  ia  dicampakkan  ke  dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah.  Dari  Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di  bawah  kekuasaan  raja-raja  Amalekit
(Hyksos).

Sarah  adalah  seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos   biasa   mengambil   wanita-wanita    bersuami    yang
cantik-cantik.  Ibrahim  memperlihatkan,  seolah  Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh  dan  Sarah  akan  diperisterikan
raja.  Dan  raja  memang  bermaksud  akan  memperisterikannya.
Tetapi  dalam  tidurnya  ia  bermimpi  bahwa  Sarah  bersuami.
Kemudian  dikembalikan  kepada  Ibrahim  sambil  dimarahi.  Ia
diberi beberapa  hadiah  di  antaranya  seorang  gadis  belian
bernama  Hajar-  Olelm  karena  Sarah  sesudah  bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka  oleh  Sarah
disuruhnya  ia  bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah  beroleh  anak,  yaitu  Ismail.  Sesudah  Ismail   besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan  oleh  Ibrahim.  Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa  yang  disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan  menguji  adanya  perselisihan  pendapat  itu.
Dalam   Qishash'l-Anbia'   Syaikh   Abd'l   Wahhab   an-Najjar
berpendapat,  bahwa  yang  disembelih   itu   adalah   Ismail.
Argumentasi  ini  diambilnya  dari  Taurat  sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak  Ibrahim  satu-satunya.
Pada  waktu  itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim  tidak
lagi  tunggal,  melainkan  sudah  ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil  cerita  itu  seharusnya  kisah  penyembelihan   dan
penebusan  itu  terjadi  di  Palestina.  Hal  ini  memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu  terjadi  terhadap
diri  Ishaq.  Selama  itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke  Hijaz.  Akan  tetapi  cerita
yang  mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit  Mina,  maka  ini  tentu  berlaku  terhadap  diri
Ismail.  Oleh  karena  di  dalam  Qur'an tidak disebutkan nama
person  korban  itu,  maka  ahli-ahli  sejarah  kaum  Muslimin
berlain-lainan pendapat.

Tentang  pengorbanan  dan  penebusan  itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi,  bahwasanya  Tuhan  memerintahkan  kepadanya
supaya   anaknya  itu  dipersembahkan  sebagai  kurban  dengan
menyembelihnya.  Pada  suatu  pagi  berangkatlah   ia   dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi,  bahwa
aku  menyembelihmu.  Lihatlah,  bagaimanakah  pendapatmu?'  Ia
menjawab: 'Wahai ayahku.  Lakukanlah  apa  yang  diperintahkan
kepadamu.  Jika  dikehendaki  Tuhan,  akan kaudapati aku dalam
kesabaran.'   Setelah   keduanya    menyerahkan    diri    dan
dibaringkannya  ke  sebelah  keningnya,  ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan  begitu,
Kami  memberikan  balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya  dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)

Beberapa  cerita  melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan,  sekalipun
tidak  membawa  kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan  bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu,  mari  kita
pergi  ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang  laki-laki,  mendatangi  ibu  anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim  membawa  anakmu?'  'Ia  pergi
mencari  kayu  dari  lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi,  'ia  pergi  akan  menyembelihnya.'  Ibu  itu
menjawab  lagi:  'Tidak.  Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'

'Kalau  itu  memang  perintah  Tuhan   biarkan   dia   menaati
perintahNya,'  jawab  ibu  itu.  Setan  itu  lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya  itu.  Kepada  anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun  sama  dengan  jawaban  ibunya
juga.  Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya  ia  menyembelih
anaknya  dan  akhirnya  akan  menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa  jengkel  Iblis  itu
mundur  teratur,  karena  maksudnya  tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.

Kemudian  itu  Ibrahim  menyatakan  kepada   anaknya   tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam  ballada  itu:  'Ayah,
kalau  ayah  akan  menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan  akan  mengurangi  pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah  sudah  merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir  bila  ayah  kelak  melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau  ayah  berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'

'Anakku,'  kata  Ibrahim,  'ini  adalah  bantuan  besar  dalam
melaksanakan perintah Allah.'

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu  lalu  dibaringkan  keningnya  untuk  disembelih.   Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan  seekor  domba
besar   yang   terdapat  tidak  jauh  dari  tempat  itu.  Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini  adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

Ishaq  telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama  terhadap  keduanya.  Akan  tetapi  Sarah  menjadi  gusar
melihat  anaknya  itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan  anaknya  tatkala  dilihatnya  Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa  bahwa  hidupnya  takkan  bahagia  kalau  kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke  arah  selatan.  Mereka
sampai  ke  suatu  lembah,  letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat  para  kafilah
membentangkan  kemahnya  pada  waktu  mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman  ke  Syam.  Tetapi
pada  waktu  itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail   dan   ibunya   oleh    Ibrahim    ditinggalkan    dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk  tempat  ia  berteduh  dengan  anaknya.  Dan  Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.

Sesudah  kehabisan  air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun  ke
lembah  mencari  air.  Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali,  ia
kembali  kepada  anaknya  dengan  membawa  perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya  anaknya  sedang  mengorek-ngorek
tanah  dengan  kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya  mata
air  itu  supaya  jangan  mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.

Anak yang bersama ibunya itu membantu  orang-orang  Arab  yang
sedang  dalam  perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka  sampai  pada  musim  kafilah
yang akan datang.

Mata  air  yang  memancar  dari  sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat  tempat  itu.  Beberapa
keterangan   mengatakan,  bahwa  kabilah  Jurhum  adalah  yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya  sumber  sumur  Zamzam,  sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.

Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah  Jurhum.  Ia  dengan  isterinya  tinggal  bersama-sama
keluarga  Jurhum  yang  lain.  Di  tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.

Juga disebutkan bahwa  pada  suatu  hari  Ibrahim  minta  ijin
kepada  Sarah  akan  mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah  ia  mencari  dan  menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"

"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.

Kemudian  ditanya  lagi,  dapatkah  ia  menjamu  makanan  atau
minuman, dijawab  bahwa  dia  tidak  mempunyai  apa-apa  untuk
dihidangkan.

Ibrahim  pergi,  setelah  mengatakan:  "Kalau  suamimu  datang
sampaikan  salamku  dan  katakan  kepadanya:   "Ganti   ambang
pintumu."

Setelah  pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera  menceraikan  isterinya,  dan  kemudian  kawin  lagi
dengan  wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian  ia  pernah  datang.  "Sekarang  ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak,  dan
mereka  inilah  yang  menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari  pihak  ibunya  erat  sekali
bertalian  dengan  Mesir,  dan  dari  pihak  bapa  dengan Irak
(Mesopotamia)  dan  Palestina,  atau   kemana   saja   Ibrahim
menginjakkan kaki.
»»  READMORE...

Sabtu, 03 Maret 2012

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW



Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini…” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.”
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa baris di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.”Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah… Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”
Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual
Wassalam
A � i t ��o � k “font-family: fixed-width, monospace; font-size: 12px; “>Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah
hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah
baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku
sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit
kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk
menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan
seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih
sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga
seorang utusan Allah.

Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang
subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka
pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan
pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad
menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu
sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan
pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita
terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap
isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para
sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka
takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut
terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin
untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya
tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk
di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu
diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat
tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung
tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk
kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita
sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin
menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah
pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru
akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang
menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika
Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan
Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab
ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi
dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya).
Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak
sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali
adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang
munafik.”

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita
belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun
sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil
para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika
memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata
Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada
Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar
berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak,
angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin
membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.”
Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu
turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu
dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap
sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya
(al-hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti
seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi
dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar
banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para
sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket
berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar
Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau
datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau
kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan
kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang
dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami
jadikan engkau penguasa kami”

Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau
membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi
bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi
membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat
sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai
menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana
Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita
mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak
Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang.
Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi
dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan
pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara
kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup
suara obrolan kita. Masya Allah!

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah
yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke
Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang
sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan
isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang
pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke
Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.”
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung.
Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk
berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan
kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan
salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari
kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para
sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di
padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena
perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada
kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat
yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisa
di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku
tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash
hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani
berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan”
orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke
rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi
meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah
pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu
setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan
bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!”
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu
keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya
menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan
kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai
Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar”
berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin
diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu
tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum
Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan
sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena
khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang
kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha
Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang
muflis. Na’udzu billah…

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu
Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari
pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi,
perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para
sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan,
“Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah
telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian,
bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku
sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para
sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya
pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.”Ya Allah
saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu
dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang
indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin
dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa
kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi
kami. Ya Allah saksikanlah… Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”


»»  READMORE...

Sami Zaidan, kisah sang Syuhada



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,
Sepuluh Hari Syahid, Jasadnya Masih Mengeluarkan Darah Segar Madrasah Brigade al Qassam telah banyak mengeluarkan pahlawan mujahidin, termasuk dari kota Tel. Di antara mereka ada yang menjadi pemimpin besar yang banyak dari mereka menjadi prajurit-prajurit perlawanan yang tidak dikenal yang kini telah bergabung dalam barisan kafilah syuhada’ Palestina.
Pahlawan kita kali ini adalah satu di antara pejuang Palestina yang menjadi alumni madrasah Brigade al Qassam. Sami Zaidan, seorang pemuda bertaqwa dan wara’ yang mengenal hak Rabbnya, mengenal hak tanah air dan bumi tempat ia berpijak. Dia keluar dari madrasah al Qassam menjadi mujahid berjuang di jalan Allah.
Dialah Sami “Muhammad Samir” Zaidan, lahir di desa Tel berdekatan dengan kota Nablus pada 11 Oktober 1980. Berasal dari keluarga religius yang hidup dari hasil menggarap lahan (bertani). Dia adalah anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Tumbuh dalam suasana keimanan dan jihad perjuangan. Terdidik mencintai masjid. Senantiasa melaksanakan shalat berjama’ah di masjid. Tidak pernah sekalipun terlewatkan shalat di masjid, bagaimanapun kondisinya.
Terlebih shalat subuh. Halaqah al Qur’an diikutinya di masjid desa hingga hafal (hafidz) al Qur’an secara keseluruhan pada usia 19 tahun.
Pendidikan formal hanya sampai pada tingkat menengah atas (SMU). Selanjutnya bekerja bersama orang tuanya sebagai petani. Pahlawan kita ini memiliki sifat kesatria dan matang sedari awal pertumbuhannya. Hal yang paling dikenang ayahnya adalah kebiasaannya membuat mudah segala urusan rumah dan yang berkaitan dengan penggarapan tanah dan pertaniannya. Bidang ini ditekuninya secara mahir dan mumpuni.
Di tengah-tengah arogansi dan kebiadaban Zionis terhadap rakyat Palestina dan tempat-tempat sucinya, pahlawan kita ini dapat merasakan pedih dan sakitnya penderitaan yang harus dialami rakyat Palestina akibat oleh tangah kaum Zionis. Untuk itu, dia memutuskan bergabung dalam barisan Gerakan Perlawanan Islam HAMAS dan aktif dalam berbagai aktivitas dan amal jihad di dalam gerakan.
Begitu intifadhah al Aqsha meletus (September 2000), yang kemudian disusul eskalasi terorisme Zionis Israel terhadap rakyat Palestina, pejuang Palestina ini langsung terjun ke medan jihad dan bergabung dalam sayap militer gerakan HAMAS, Brigade Izzuddin al Qassam.
Pembunuhan komandan al Qassam Mahmud Abu Hanud di Tepi Barat telah mengobarkan aksi-aksi serangan balasan oleh sayap militer HAMAS ini hingga menjungkirbalikan nalar dan logika penjajah Zionis Israel. Sehingga tidak ada jalan lain bagi Zionis Israel kecuali menggelar operasi penangkapan di kalangan mujahidin dan aktivis gerakan HAMAS serta dari kelompok perlawanan Palestina lainnya.
Sami Zaidan adalah salah satu dari mujahidin Palestina yang turut ditangkap dan dititipkan dalam Penjara Pusat di Nablus yang dijaga oleh anggota pasukan keamanan Palestina. Pada saat yang sama pesawat-pesawat dan tank-tank Zionis Israel terus melancarkan gempuran dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina.
Sami tetap mendekam dalam penjara pemerintah Palestina sampai sebelum aksi pendudukan penjajah Zionis Israel secara total atas kota Nablus dan kota-kota lain di Tepi Barat pada musim panas tahun 2002. Begitu keluar dari penjara, pejuang Palestina ini langsung bergabung dengan mujahidin Palestina dan anggota al Qassam lainnya guna melakukan persiapan memburu para agresor penjajah Zionis Israel.
Sejak saat itu, Sami Zaidan tidak pernah lagi melihat keluarga dan kerabatnya. Karena telah menjadi buron pihak penjajah Zionis Israel bersama para mujahidin al Qassam. Tinggal di gua-gua dan gunung-gunung, seraya mempersiapkan rencana bersama teman-temannya untuk melakukan aksi-aksi kepahlawanan yang menggoncang langsung tempat pembaringan para penjajah.
Aksi yang paling terkenal, di mana Sami Zaidan turut dalam pelaksanaannya, adalah aksi kepahlawanan di permukiman Yahudi Emanuel pada 16 Juli 2002 yang mengakibatkan lebih dari 10 orang Israel tewas dan 40 orang lainnya terluka.
Sehari setelah aksi kepahlawanan ini, salah seorang teman seperjuangan di Brigade al Qassam, Ashim Ushaida, gugur syahid.
Setelah aksi kepahlawanan yang dilakukan Brigade al Qassam ini, yang merupakan aksi kedua di tempat yang sama, pihak penjajah Zionis Israel langsung menggelar operasi penyerbuan secara ekspansif di desa Tel dan kota Nablus guna mencari para pejuang al Qassam. Mereka gempur rumah-rumah pejuang al Qassam yang menjadi buron serta menangkap keluarga dan kerabatnya, menghancurkan rumah-rumah para pelaku aksi syahid dan para buron serta mengancam akan mendeportasi keluarga dan kerabat para pejuang ke Jalur Gaza. Pada suatu malam yang dingin dan gelap, Januari 2002, di desa Tel ada 6 mujahidin al Qassam yang telah duduk di sebuah lokasi di dalam desa. Sementara mata para antek pengecut tengah mengintai mereka. Keenam muajahidin Palestina tersebut adalah Nashrudin Ushaida bersama rekan-rekannya, Ashim Ushaida, Sami Zaidan, Umar Ushaida beserta saudaranya Ayub Ushaida dan Nail Ramadhan. Mereka tengah berkumpul membahas dan merencanakan aksi jihad. Namun tiba-tiba desa Tel telah dipenuhi serdadu militer Zionis Israel yang didukung dua pesawat heli tempur Apache buatan Amerika. Pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan antara pejuang al Qassam ini dengan pasukan penjajah Zionis Israel hingga mengakibatkan salah seorang pejuang al Qassam Nail Ramadhan gugur syahid.
Pasukan penjajah Zionis Israel mengepung lokasi pertemuan para pejuang al Qassam terebut dan pada hari itu juga Ayub Ushaida ditangkap, sementara itu Allah menyelamatkan para mujahidin lainnya dan berhasil meloloskan diri.
Padahal jarak antara mereka dengan pasukan penjajah Zionis Israel hanya dua meter. Kehendak Ilahi telah mentakdirkan mereka untuk tetap bebas menjadi duri sandungan bagi penjajah Zionis Israel.
Sejak hari pertama bergabung dengan Brigade al Qassam, asy Syahid Sami Zaidan telah mengetahui tabiat jalan yang dipilih untuk dirinya. Jalan yang penuh dengan onak dan duri.
Dia tahu betul bahwa nasib para mujahidin hanya satu dari dua pilihan, kemenangan nyata dari Allah atau mati syahid di jalan-Nya. Dia yakin betul, bahwa siapa saja yang ingin berjuang maka dia harus jujur dengan Allah dan dirinya sendiri. Tidak mencari-cari alasan untuk membenarkan kemalasan dan kelambanannya.
Hari itu, Rabu tanggal 1 Januari 2003 pukul 8 malam, Sami bertolak sendirian menuju lokasi penyergapan di jalan antara permukiman Yahudi Emanuel dan Yetzihar dekat daerah lembah Qana. Setelah memastikan target dia bersiap sambil menunggu target mendekat, patroli penjaga perbatasan yang penuh dengan serdadu Zionis Israel bersenjata lengkap. Dia pun tetap menunggu mereka sendirian. Dan pada saat yang tepat, singa al Qassam ini langsung menggeber para serdadu dengan bom dan memuntahkan misiu dari moncong Klasnikov yang disandangnya hingga hingga semua serdadu Israel tersungkur antara tewas dan terluka. Setelah yakin semua serdadu Zionis Israel tersungkur, singa al Qassam ini melanjutkan episode penyergapan di lokasi lain. Dia sendiri telah memutuskan, hari itu dia bertekad tidak akan kembali kecuali telah syahid menuju syurga Allah.
Begitu rombongan serdadu Zionis Israel datang yang dikawal pesawat helikopter Apache buatan Amerika, maka gempuran pun tak dapat dihindari pasukan militer Israel hingga mereka kewalahan menghadapi singat al Qassam yang sepertinya menggoncangkan tanah tempat kaki mereka berpijak.
Pertempuran sengit berlangsung lebih dari 3 jam antara pejuang Palestina ini dengan para pengecut serdadu Zionis Israel yang terus mundur menghindari pertempuran. Pada saat itulah pesawat Apache yang biasa digunakan Zionis Israel dalam perbagai gempuran ke target-target warga Palestina memuntahkan roketnya ke posisi singa al Qassam ini hingga sebuah roket menghajar sisi kanannya bersama dengan tembusan timah panas yang dimuntahkan senjata otomatis ke tubuh sucinya. Sami pun kemudian menemui syahadah (mati syahid).
Setelah yakin bahwa pejuang Palestina telah gugur syahid, pasukan penjajah Zionis Israel meninggalkannya tergeletak di tanah tanpa memberi kabar kepada pihak terkait mengenai keberadaan jasad korban. Mereka berharap ada binatang buas atau tabiat alam yang melenyapkan jasadnya. Namun kehendak Allah berbicara lain, dia telah melindungi tubuh pejuang yang telah menjual jiwa dan hidupnya kepada-Nya.
Sepuluh hari kemudian jasad asy Syahid baru ditemukan oleh penggembala kambing saat melewati lokasi di manas Sami menemui syahadah. Penggembala pun segera teringat suara baku senjata di lokasi yang terjadi sepuluh hari yang lalu. Setelah mengenali tubuh asy Syahid, dia pun segera kembali ke desa yang memberi kabar keluarganya mengenai apa yang telah dilihatnya.
Ayah asy Syahid mengenang, “Sejak pihak pemerintah Palestina membiarkan anakku Sami Zaidan beberapa saat sebelum aksi pendudukan pasukan penjajah Zionis Israel atas kota Nablus pada April 2002, saya belum pernah melihat putraku yang telah menjadi buron pihak militer Zionis Israel. Pada 1 Januari 2003, kami mendengar kabar tentang aksi di lembah Qana. Paginya, saat kami mendengar berita dari stasiun TV al Manar, disebutkan bahwasanaya telah diketahui identitas asy Syahid yang gugur dalam aksi tersebut, yang tidak lain adalah putraku sendiri Sami Zaidan. Kami pun segera memuji Allah Azza wa Jalla karena putraku telah mendapatkan syahadah di jalan-Nya. Kami pun bersabar dan hanya mengharap pahala di sisi Allah tabaraka wa ta’ala.”
Warga desa Tel pun merasa terkejut dengan berita ini, pada awalnya mereka tidak percaya. Karena mereka yakin pasukan penjajah Zionis Israel “menculik” jasad asy Syahid setelah berakhirnya pertempuran, sebab inilah yang biasa dilakukan pihak penjajah Zionis Israel terhadap korban Palestina dalam peristiwa-peristiwa semacam ini. Mereka berkeyakinan bahwa jasad yang ditemukan adalah bukanlah jasad Sami. Hanya saja warga menegaskan sejak 10 hari dari pertempuran di lembah Qana tersebut belum pernah ada lagi aksi yang terjadi. Setelah keluarga bersama warga lainnya menuju lokasi mereka baru yakin bahwa itu adalah jasad Sami yang masih utuh dan segar.
Benar-benar karamah ilahiyah terjadi pada kesyahidan singa al Qassam ini.
Mereka yang hadir saat itu, seakan tidak percaya, menyaksikan kijang berada di sisi jasad asy Syahid. Hewan langka ini tidak meninggalkan jasad asy Syahid kecuali setelah warga berjarak beberapa meter saja. Seakan penjaga yang dikirim Allah untuk menghalau bahaya yang akan menimpa jasad asy Syahid.
Karamah lainnya, seperti ditegaskan warga desa Tel yang hadir, mereka melihat dengan mata kepala sendiri darah segar masih mengucur dari jasadnya.
Darah itu terus mengalir dan tidak mengering, segar dan merah seakan luka itu terjadi beberapa detik yang lalu. Bahkan warna kulitnya pun tidak mengalami perubahan apapun, semerbak bau wangi memenuhi sekitar lokasi.
Itulah sekelumit riwayat asy Syahid Sami “Muhmmad Samir” Zaidan, seorang pejuang tangguh yang lahir dari madrasah al Qassam di kota Nablus.
***
»»  READMORE...

HADITS MENUNAIKAN AMANAT

1. Tunaikanlah amanat terhadap orang yang mengamanatimu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang mengkhianatimu. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

2. Tiada beriman orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji. (HR. Ad-Dailami)

3. Orang yang diajak bermusyawarah (dimintai pendapat) adalah orang yang bisa memegang amanat (jujur, ikhlas dan dapat menyimpan rahasia). (HR. Ath-Thabrani)

4. Apa yang dibicarakan dan terjadi dalam majelis-majelis (rapat atau pertemuan) harus dijaga dan dipelihara sebagai amanat. (HR. Abu Dawud)
Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press
»»  READMORE...

Entrepreneurship Rasulullah



KH. Abdullah Gymnastiar
Sahabat-sahabat,
Ternyata dalam kajian tentang Rasulullah, ada saat yang kurang kita bahas. Kebanyakan kita bahas adalah mulai dari umur 17 tahun sampai 20 tahun. Kita tahu mengenai beliau ketika umur 25 tahun tetapi dengan imej yang negatif, yaitu seorang pemuda menikahi janda kaya raya. Padahal kalau dilihat dari maharnya mencapai 20 ekor unta muda yang jika dihargai sekarang kurang lebih setengah milyar rupiah, Bayangkan saja.
Hal lainnya yang amat jarang kita bahas adalah bagaimana Muhammad menjadi professional. Umat Islam sekarang menjadi babak belur, karena kita tidak mengerti bagaimana menjadi professional. Mengurus masjid kecil, wc bahkan sandal saja repot sekali. Hal yang perlu kita kembangkan adalah jiwa entrepreneur.
Rasulullah sebagai bukti bahwa dengan memiliki jiwa entrepreneur maka orang akan mampu mengendalikan apa saja. Contohnya di Singapura yang merupakan negara pedagang walaupun mereka tidak mempunyai sumber daya.Taiwan, Jepang bahkan Korea hampir menguasai dunia.
Rasulullah dilahirkan dalam keadaan yatim. Dalam usia enam tahun ibunya meninggal dalam perjalanan kembali dari Yatrib setelah menengok kuburan ayahnya. Usia 6tahun beliau sudah yatim-piatu dan tidak punya pegangan. Sampai usia 8 tahun 2 bulan dibina dan didik kakeknya Abdul Muthalib yang cukup berada.
Di usia ini kakeknyawafat, setelah itu ia dalam perlindungan pamannya AbuThalib yang tidak sekaya kakeknya, mulai saat itulah pemuda kecil Muhammad menggembala kambing, mencari nafkah sendiri. Usia 12 tahun Rasul diajak pamannya dalam perjalanan dagang pertama kali ke Syria. Syria itu jaraknya ribuan kilometer.
Bayangkan umur 12 tahun tidak pakai pesawat atau mobil!!!. Anak-anak kita umur12 tahun sedang malas-malasnya. Masa kecil kita bukan masa teruji, bukan masa tertempa. Semua dimudahkan oleh orang tua kita. Disini saya akan membahas kenapa kita ini menjadi warga yang looser.
Saudara-saudara Sekalian,
Sepulang dari perjalanan dagang pertamanya, beliau begitu sering bisnis bahkan sampai ke seluruh JazirahArab sudah terkenal seorang professional muda bernama Muhammad. Di usia 25 tahun, beliau menikah dengan seorang konglomerawati bernama Khadijah. Setelah genap hampir sepuluh kali perjalanan dagang yang beliau tempuh, kalau setiap kali perjalanan dagang beliau mendapatkan untung dua ekor unta betina.
Subhanallah,
Maka ketika meminang Siti Khadijah beliau memberi maskawin sebesar duapuluh ekor unta muda atau kurang lebih setengah milyar rupiah!!!. Mana ada pengusaha muda di Indonesia yang mau memberi mahar begitu besar kepada istrinya. Coba cari sekarang ada atau tidak di Indonesia seseorang yang sudah berani menikah dengan memberi mahar setengah milyar. Paling top orang kaya itu seperangkat alat sholat.
Jadi kita bisa membayangkan bagaimana dashyatnya Muhammad muda ini. Hal ini yang jarang kita pelajari, bagaimana etos kerja beliau padahal beliau tidak ada uang, tidak ada keahlian. Jadi saudara-saudara, jangan merasa malu lahir dari orang tua yang miskin, Rasul bahkan tidak punya bapak.
Jangan merasa berpendidikan rendah, Nabi saja tidak sekolah. Jangan merasa tidakpunya modal, Nabi tidak punya modal sama sekali. Tidak ada alasan. Kita itu paling hobi memperbanyak alasan. Padahal alasan memperjelas kelemahan kita.
Jadi bangsa ini mau sesulit apapun, tidak ada pilihan bagi kita kecuali kita bangkit dengan semangat. Saya termasuk yang tidak mau pusing dengan keadaan sekarang kalau akhirnya akan melemahkan semangat . Situasi sesulit apapun, pilihannya cuma satu yaitu kita harus bangkit bersama-sama.
Mengeluh, mencela tidak akan menyelesaikan masalah, kalau ada yang dapat terselesaikan dengan masalah, silakan saja mengeluh sepuasnya. Kalau ada yang bisa selesai dengan umpatan dan makian, silakan mengumpat. Kita tidak punya waktu, waktu kita terbatas. Satu – satunya pilihan adalah kita harus bangkit. Allah Maha Kaya, mau seperti apa saja keadaanya, rezeki Allah tidak akan berkurang. Ini rumusnya yang akan kita coba bahas.
Rekan-rekan sekalian, Para orang tua, jangan merasa sudah tua. Tenang saja kita masih punya anak cucu. Para kaum muda ini kesempatan bahwa kita sudah disiapkan sukses oleh Allah. Sudah diilhamkan potensi sholeh/bejat. Kita sebelum dilahirkan ke dunia sudah pernah bertarung dengan 150 juta pesaing yaitu sel sperma dan yang jadi menemui sel telur adalah kita. We are the winner. Kita pernah memasuki persaingan dan kita menang. Kenapa kalau sudah hidup jadi kalah??
Jadi tekad harus kita canangkan dari sekarang. Kalau kita lihat sejarah, baru tahun 1984 ilmu wirausaha ini mulai dikembangkan, padahal Nabi Muhammad SAW sudah 1500 tahun yang lalu mencanangkan bahwa kita itu bisa kokoh dan kuat justru dengan kewirausahaan yang ada. Kuncinya ternyata semua wirausahawan sejati tergantung dari masa kecilnya.
Masa kecil seseorang itulah yang menentukan kualifikasi enterpreneurship orang tersebut. Kalau masa kecilnya selalu dimanja, selalu ditolong maka bersiaplah menuai anak yang tidak berdaya. Para pengusaha kita sedikit yang masa kecilnya susah.
Saudara-saudaraku,
Bagi yang masih muda, jangan bercita-cita punya pekerjaan setelah lulus. Mulai sekarang kalau saya lulus, saya ingin membuat pekerjaan, tidak perlu melamar kemanapun. Langsung jadi direktur utama merangkap staf dan pegawai inti. Bangsa ini tidak akan selesai hari ini. Mulailah tanamkan jiwa enterpreneurship pada anak-anak kita. Ingatlah padawaktu kita kecil, waktu belajar jalan, bediri sedikit sudah jatuh. Bangkit lagi, benjol berdarah dan apakah kita putus asa?, apakah kita mengeluh?.
Potensi untuk berani bertindak sudah ada hanya orang tua yang dapat melemahkan semangat kita. Dilarang naikkursi takut jatuh, dilarang main pisau nanti berdarah. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengambil pilihan. Dia tidak pernah punya pengalaman untuk mengetahui resiko dari tindakannya.
Menyelesaikan bangsa kita sekarang bukan saja oleh kita sekarang, dengan mempersiapkan keturunan kita juga merupakan tanggung jawab kita kepada umat ke depan. Tidak pernah ada kata terlambat. Didik anak-anak kita dari kecil buat jadi mandiri, bebas, berani bertanggung jawab supaya dia percaya diri.
Kalau dia jatuh biarkan saja. Ini adalah membangun bangsa ini. Ini adalah membangunmasa depan umat, yaitu bagaimana para orang tua membangun anak-anaknya. Kalau mereka mau jajan harus ada pertaruhannya, setiap rupiah harus ada perjuangannya.
Latih anak-anak kita untuk selalu bertanggung jawab terhadap apa yang dia lakukan. Orang tua yang memanjakan anaknya sengsaranya juga akan kembali ke orang tua. Latihlah entrepreneurship dari uang jajan bulanan yang bertanggungjawab pemakaiannya. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan kita. Saya semenjak SD sampai SMA sudah berjualan, lulus kuliah tidak pernah mengambil ijazah sampai sekarang.
Alhamdulillah, rezeki Allah tidak kemana-mana.Allahu akbar, Allah Maha Besar sampai sekarang mampu membangun Daarut Tauhiid sampai sebegini besar. Tapi ini benar-benar membuat keyakinan jika jiwa entrepreneurship tertanam pada diri-diri kita, kita tidak pernah takut menghadapi situasi apapun. Kalau saja ini dikelola oleh orang- orang yang berjiwa wirausaha yang baik pasti akan sukses.
Bagaimana mungkin dengan alam yang begitu kaya kita bisa miskin, cuma kita saja yang bodoh sampai tertipu tetangga karena kita tidak mengerti cara mengelolanya. Saudara-saudaraku sekalian, Hikmahnya yang pertama adalah hati-hati dengan masa kecil, masa muda. Para mahasiswa sebaiknya sambil kuliah sambil cari nafkah. Pengalaman sudah harus dirintis, nantinya waktu kuliahnya sama hasilnya akan berbeda dengan orang lain.
Kedua, Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagi nabi tidak punya apa-apa, mengapa setelah itu dapat menjadi orang kaya tanpa modal. Karena modal yang beliau punyai adalah Al-Amin yaitu orang yang kredibel. Mulai sekarang kita harus buat track record menjadi orang yang terpercaya dalam kehidupan kita. Modal kita itu adalah nama baik kita. Demi Allah, uang itu kecil.
Nama baiklah yang mahal. Mulai sekarang jangan pernah terpikir untuk licik. Mulut kita satu-satunya ini tidak boleh lagi berdusta. Mulut ini yang membuat kita kehilangan hidup, uang, dan kehormatan kita. Jangan main-main soal bohong ini. Biar kita diremehkan, disisihkan dan dikeluarkan karena kita jujur.
Daripada kita sebaliknya karena kita tidak pernah menikmati hidup selama kita berbohong. Cari rezeki tidak perlu bohong, Allah SWT sudah tahu kebutuhan kita daripada kita sendiri. Tiap kita itu sudah ditentukan rezekinya, tidak mungkin Allah menciptakan kita tanpa rezeki.
Rezeki dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rezeki yang pertama adalah rezeki yang dijamin pasti ada, yaitu makan. Pada saat kita bayi kita tidak bisa mencari makan, apakah kita takut. Hal ini karena kita yakin sudah dijamin. Satu kesulitan mendatangkan dua kemudahan pada saat kita hendak terlahirkan. Ari-ari dipotong setelah itu mendapatkan makanan dari dua air susu ibu. Jadi setelah kita sebesar ini, apakah masih takut tidak makan. Yang harus kita takuti adalah makan makanan yang kita tidak tahu halal/haramnya. Demi Allah, kita akan ada rezekinya.
Rezeki yang kedua adalah rezeki yang digantungkan. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu merubah nasibnya sendiri. Semua sudah ada ukurannya sendiri. Justru akan gawat kalau rezeki kita sama semua. Kalau kita mencarinya di jalan Allah. Rezeki dapat, pahala dapat, barokah namanya. Kalau mau licik boleh-boleh saja. Rezeki dapat, dosa dapat, haram namanya.
Pencuri, koruptor itu maling hartanya sendiri. Kalau dia sholeh pasti ketemu rezekinya itu. Tidak perlu pakai licik. Tidak mungkin Allah menyediakan rezeki kalau harus pakai licik. Jujurlah pasti akan ketemu rezeki tersebut, mau kemana lagi. Ingatlah teori bayi, ketika menangis dengan suara pelan sang ibu hanya menenangkan dan tidak memberi makan. Kemudian si bayi menangis dengan berteriak tentu akan menarik perhatian dan ibu akan memberi makan kepadanya.
Saudara-saudara,
Saya khawatir kita apes seperti ini bukan tidak ada jatah kita, tapi kita tidak mengambilnya hanya sedikit. Jangan-jangan jatah saudara seratus juta perbulan tapi mengambilnya hanya lima ratus ribu. Jika sudah bekerja keras itu masih belum cukup. Bekerjakeras itu urusan fisik, bekerja cerdas itu urusan otak dan bekerja ikhlas itu urusan hati. Kalau ketiganya jalan baru ketemu.
Tanpa bermaksud meremehkan saudara kita tukang becak itu tidak kurang kerja kerasnya. Karena kalau tidak didorong tidak akan maju, tapi hasilnya hanya sepuluh ribu perhari. Tidak cukup mengandalkan otot saja, hati dan otak harus diperhatikan. Maka saudara-saudara jangan sampai berpikir licik untuk mendapatkan rezeki, rezeki itu tidak akan kemana-mana.
Rezeki yang ketiga adalah rezeki yang dijanjikan. Kita harus jatahkan setiap mendapatkannya harus langsung dikeluarkan sedekah/zakatnya. Demi Allah, Allah sudah berjanji barangsiapa yang ahli syukur nikmat yang ada Allah akan tambahkan. Tidak akan berkurang harta dengan sedekah, kecuali bertambah dan bertambah. Inilah rumusnya kalau tidak mau uang kita sia-sia.
***
»»  READMORE...
Ujub dan Takabur
Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.
Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”
Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”
“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.
“Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”
Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?”
Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?”
Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”
Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”
Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”
Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.
***
»»  READMORE...
/
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template